Keputusan hakim PN Jakarta Pusat adalah sebagai berikut. Pertama, PN Jakarta Pusat memutuskan pada Temasek dan 8 anak usahanya terbukti melanggar Pasal 27 a UU No 5 Tahun 1999 tentang persaingan usaha tidak sehat. Kedua, memutuskan kepada Telkomsel tidak melanggar Pasal 25 b UU No 5 tahun 1999. Ketiga, memutuskan kepada Telkomsel melanggar Pasal 17 Ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Keempat, memutuskan kepada Temasek dan 8 anak usahanya untuk menghentikan kepemilikan sahamnya di Telkomsel dengan cara melepas salah satu perusahaannya antara Telkomsel dan Indosat dalam waktu 12 bulan, atau mengurangi kepemilikan sahamnya masing-masing di Telkom atau Indosat sebesar 50% dari jumlah saham dalam waktu 12 bulan terhitung sejak diputuskan. Kelima, memerintahkan kepada Temasek dan 8 anak usahanya untuk memutuskan perusahaan yang akan dilepas kepemilikan sahamnya, serta melepas hak suara dan hak mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahaan yang akan dilepas, yaitu Telkomsel atau Indosat dengan dilepas secara keseluruhan atau mengurangi kepemilikan saham masing-masing 50% di Telkomsel dan Indosat. Keenam, a. Pelepasan kepemilikan saham maksimal 10% saham dari yang dilepaskan. b. Pembeli tidak boleh terafliasi dengan Temasek dan lapangan perusahaan bisa dalam bentuk apa pun. Ketujuh, menghukum Temasek dan 8 anak usahanya masing-masing denda Rp15 miliar. Kedelapan, menghukum Telkomsel denda Rp15 miliar. Kesembilan, menghukum pemohon perkara sebesar Rp17.809.000.
Dari sembilan keputusan tersebut, maka keputusan yang paling penting adalah keputusan butir keenam, yakni keharusan a. Pelepasan kepemilikan saham maksimal 10% saham dari yang dilepaskan dan b. Pembeli tidak boleh terafliasi dengan Temasek dan lapangan perusahaan bisa dalam bentuk apa pun. Butir keputusan itu memberikan jaminan bahwa praktik persaingan usaha yang tidak sehat akibat dari adanya penyalahgunaan (abuse) kepemilikan silang (cross-ownership) sebagaimana dipraktikkan grup Temasek tidak akan terulang lagi. Jadi, butir itu merupakan inti dari implikasi butir keputusan lainnya. Tanpa butir keputusan itu, butir keputusan lain tidak memiliki arti apa-apa. Ibarat kolak pisang, jika pisangnya tidak ada, itu bukan lagi kolak pisang. Pertanyaannya, mengapa MA sampai menghilangkan esensi dari keputusan hakim tersebut? Apakah hakim MA tidak mengerti inti dari kasus itu? Ataukah ada tekanan atau titipan dari berbagai pihak yang berkepentingan dalam kasus itu. Ataukah ada argumen lain dari MA yang belum disampaikan kepada masyarakat?
Untuk dugaan pertama, rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Para hakim MA, apalagi dalam perkara itu ditangani ketua MA sendiri ditambah dua hakim agung senior, sudah sangat mengerti duduk perkara kasus tersebut. Sebenarnya perkara itu pun relatif sederhana, jadi tidak harus membutuhkan suatu argumen yang begitu canggih untuk memahaminya. Keputusan KPPU yang kemudian diperkuat dan diperbaiki keputusan PN Jakarta Pusat didasari data dan fakta ekonomi dan hukum yang sangat kuat dan sukar untuk dipatahkan siapa pun juga. Hal itu kemudian diterima MA dan karena itu MA menyatakan grup Temasek bersalah. Jadi, jika para hakim MA mengerti kasus itu dengan baik, mungkin ada alasan lain yang menyebabkan MA menghapus butir keenam dari keputusan pengadilan negeri Jakarta Pusat itu.
Ada kemungkinan MA tidak mau mengganggu proses transaksi Indosat antara STT—anak perusahaan grup Temasek dan Q-Tel yang telah membeli Indosat ketika proses hukum belum diputuskan MA. Sebagaimana diketahui jauh sebelum MA memutus perkara itu, sebenarnya divestasi Indosat telah terjadi. STT telah menjual seluruh kepemilikan sahamnya di Indosat kepada Q-Tel. Banyak pihak yang menyatakan bahwa proses itu ilegal karena dilakukan ketika proses hukum belum memiliki kekuatan yang tetap. Selain itu, juga bukan merupakan transaksi sungguhan karena Q-Tel masih terafiliasi dengan STT melalui Asia Mobile Holding (AMH) yang menguasai saham Indosat. Namun, penjualan Indosat terus berlangsung, bahkan didukung para pejabat pemerintah termasuk wakil presiden dan menteri BUMN. Dengan penjualan itu, grup Temasek seolah terhindar dari jerat hukum keputusan Pengadilan Negeri. Bahkan mereka menyatakan bahwa STT tidak lagi terlibat dengan Indosat, juga dalam masalah dengan KPPU.
Namun, pada saat yang sama grup Temasek juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Pengadilan Negeri. Itu merupakan hal yang aneh karena mereka menyatakan sudah tidak lagi memiliki Indosat. Nampak jelas bahwa strategi grup Temasek adalah ingin terlepas dari jerat hukum jika keputusan MA memperkuat sepenuhnya keputusan PN Jakata Pusat. Pada saat yang sama mereka akan dengan mudah memperoleh kembali Indosat jika keputusan MA memenangkan. Dengan keputusan MA, yang di satu sisi menyatakan grup Temasek bersalah, di sisi lain menghapus inti dari keputusan Pengadilan Negeri, maka sebenarnya yang menang dalam kasus itu adalah Temasek. Dengan demikian, transaksi antara STT dan Q-Tel mendapatkan legalisasi yang kuat. Padahal kita tahu keduanya merupakan pihak yang terafliasi.
Politik akomodasi hukum yang dilakukan MA nampaknya ingin memuaskan semua pihak. Namun, justru menimbulkan ketidakpuasan seluruh pihak. KPPU menyatakan tidak puas dengan keputusan tersebut karena menghilangkan inti dari persoalan praktik persaingan tidak sehat yang dilakukan grup Temasek. Grup Temasek sendiri mengancam akan membawa kasus itu ke arbitrase internasional. Apakah ancaman itu serius atau merupakan public image bahwa mereka dirugikan keputusan MA itu kita tidak tahu. Namun, yang paling mendasar dari keputusan tersebut adalah saling bertentangan. Artinya, MA tidak dapat menyatakan grup Temasek bersalah, tapi menghapus butir keenam dari keputusan Pengadilan Negeri.
Jadi, jelas nampak bahwa keputusan MA itu didasarkan pada keinginan dan argumen untuk tidak mengganggu transaksi STT dengan Q-Tel yang sudah sedemikian jauh dan bahkan didukung para pejabat. Namun, bagaimana mungkin hanya karena titipan dan tekanan–jika itu benar adanya—logika dan fakta hukum sama sekali diabaikan. Dengan menganggap seolah masyarakat tidak akan mengerti logika hukum yang terjadi. Di samping itu, MA pun seolah tidak merasa dilecehkan dengan kelakuan grup Temasek menjual Indosat ke Q-Tel sebelum proses hukum itu selesai. Bahkan dengan keputusan itu, MA membenarkan dan memperkuat transaksi yang terjadi. Jika dugaan itu tidak benar, MA harus menjelaskan secara terbuka kepada publik argumen yang digunakan dalam memutuskan perkara tersebut. Jika dibiarkan tanpa ada penjelasan yang terbuka, dikhawatirkan wibawa lembaga hukum kita akan semakin merosot.
Banyak pihak yang ingin mengalihkan isu dengan menyatakan pihak-pihak yang mempertanyakan praktik usaha yang dilakukan grup Temasek pada industri telekomunikasi di Indonesia sebagai antiinvestasi asing. Sebenarnya, yang dipersoalkan selama ini adalah praktik persaingan usaha yang tidak sehat yang merugikan konsumen. Sebagaimana diketahui, kerugian konsumen akibat penyalahgunaan kepemilikan silang oleh grup Temasek berkisar Rp16 triliun-Rp30 triliun rupiah, berdasarkan perhitungan KPPU. Hal itu diakui dan diterima Mahmakam Agung. Jadi, sungguh, investasi asing khususnya yang dilakukan grup Temasek pada Indosat dan Telkomsel tidak membawa manfaat besar, bahkan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, upaya menghilangkan praktik persaingan usaha yang tidak sehat itu perlu terus dilakukan dan mendapat dukungan dari seluruh pihak.
Keputusan MA sungguh tidak memberikan kepastian hukum dalam kasus itu. Bahkan seolah membenarkan kemungkinan terjadinya kembali penyalahgunaan kepemilikan silang yang menciptakan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, yang merugikan konsumen. Kita menunggu penjelasan MA yang lebih masuk akal dalam memutus perkara tersebut.Oleh M Fadhil Hasan, Ekonom Senior Indef
opini ini dibuat oleh ; M. Fadhil Hasan, PhD. General Director of Institute for Development of Economic. blog ini berisi tentang Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang sangat janggal dan aneh. dalam mengukuhkan keputusan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Pengadilan Negeri (PN) yang menyatakan grup usaha Temasek bersalah melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Banyak pihak yang menyatakan bahwa proses itu ilegal karena dilakukan ketika proses hukum belum memiliki kekuatan yang tetap.karena itu Jika dugaan itu tidak benar, MA harus menjelaskan secara terbuka kepada publik argumen yang digunakan dalam memutuskan perkara tersebut.Oleh karena itu, upaya menghilangkan praktik persaingan usaha yang tidak sehat itu perlu terus dilakukan dan mendapat dukungan dari seluruh pihak.Bahkan seolah membenarkan kemungkinan terjadinya kembali penyalahgunaan kepemilikan silang yang menciptakan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, yang merugikan konsumen,Sebenarnya perkara itu pun relatif sederhana, jadi tidak harus membutuhkan suatu argumen yang begitu canggih untuk memahaminya.opini ini dibuat agar MA serius dalam menangani kasus persaingan tidak sehat ini,dan dihimbau agar tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti ini.karena Jika dibiarkan tanpa ada penjelasan yang terbuka, dikhawatirkan wibawa lembaga hukum kita akan semakin merosot.
Namun, tidak banyak orang yang bertanya-tanya, bagaimana pemerintah mampu menganggarkan 20% belanjanya untuk sektor pendidikan? Dari mana uangnya? Sehari sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulani Indrawati menjawab pertanyaan wartawan dengan wajah masam, ia mengatakan bahwa konsekuensi dari 20% anggaran pendidikan adalah anggaran untuk sektor-sektor lain harus dipotong atau dananya dari penghematan dan tambah utang. Pokoknya harus dicari jalan keluarnya. Berbeda dengan jawaban menteri keuangan, Presiden dalam pidatonya mengemukakan, “Dengan perubahan asumsi (harga minyak) itu, anggaran subsidi bahan bakar minyak dan listrik juga mengalami penurunan sehingga akhirnya, alhamdulillah, anggaran pendidikan sebesar 20 % dapat dipenuhi, meskipun defisit anggaran harus dinaikkan sebesar Rp20 triliun atau menjadi 1,9% persen dari produk domestik bruto (PDB).”
Sekadar Anda ketahui, defisit APBN pada masa pemerintahan Yudhoyono dari tahun ke tahun mengalami kenaikan signifikan. Dalam APBN 2005 (anggaran tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu), defisit tercatat hanya 0,7% dari PDB atau sekitar Rp16,5 triliun. Setahun kemudian defisit jadi double 1,5%. Ketika RAPBN 2007 disusun, defisit diperkirakan turun menjadi 1,1% dengan nilai absolut Rp40,6 triliun. Namun, angka itu kemudian ‘disesuaikan’ menjadi 1,5% atau sama dengan defisit APBN 2006. Namun, nilai absolutnya meroket menjadi Rp58 triliun. Angka defisit anggaran belanja 2008 pun mengalami beberapa kali perubahan, akibat fluktuasi harga minyak di tingkat internasional yang benar-benar di luar perkiraan. Maka, dari APBN 2008, kita kenal APBN-P (Perubahan) 2008, dan APBN P-P (Perubahan atas Perubahan) 2008. Defisit akhirnya ditetapkan sekitar Rp110 triliun atau sekitar 2% dari PBD.
Defsit anggaran semakin membengkak karena 2 (dua) faktor utama. Pertama, pengeluaran terus meningkat tajam (sebagian akibat korupsi yang menggurita di semua strata). Kedua, penerimaan negara yang tersendat-sendat. Alhasil negara Indonesia, ibarat rumah tangga atau perusahaan dagang, sebenarnya dalam kondisi amat tidak sehat. Sebab, dari mana menutup defisit anggaran? Sebetulnya, banyak sumber bisa diupayakan. Sayangnya, para pemimpin (baca: menteri) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) hanya memiliki satu solusi, yaitu dari utang! Beda rezim sekarang dengan rezim Soeharto. Kalau dulu defisit ditutup dengan utang luar negeri (khususnya IGGI dan Bank Dunia), kini Menteri Keuangan mencari solusinya dengan (1) mencetak surat utang negara (SUN) sebanyak-banyaknya, (2) privatisasi BUMN, dan (3) penjualan aset PPA (lembaga pengganti BPPN). Solusi kedua memang bukan gagasan orisinil pemerintah Yudhoyono. Penjualan BUMN kepada swasta asing sudah dilakukan sejak era pemerintahan Gus Dur dan mencapai puncaknya pada era Megawati. Penerbitan SUN pun sudah ada sejak era awal reformasi. Namun, pada pemerintahan SBY, instrumen SUN mencapai dinamika paling tinggi dengan ‘inovasi’ memukau dan jumlah yang amat memprihatinkan!
Induk daripada surat utang dinamakan surat berharga negara (SBN). SBN terdiri atas (a) SUN, (b) obligasi negara ritel (ORI), (c) surat perbendaharaan negara (SPN), (d) surat berharga syariah negara (SBSN) alias SUKUK. SUN sendiri dibagi dalam dua kategori, denominasi rupiah dan dolar. Kecuali dijual di dalam negeri dengan sasaran pembeli pihak perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya, pemerintah juga mengejar investor asing dengan jualan langsung ke negara target. Pada awal 2007, misalnya, pemerintah berhasil menjual INDO-37 senilai US$1,5 miliar dengan tingkat bunga 8,75% dan tenggang waktu 30 tahun. Pertengahan Juni yang baru lalu, Menteri Keuangan Sri Mulani memimpin delegasi pemerintah RI ke New York untuk jualan. Hasilnya US$2,2 miliar melalui instrumen Indo-14 sebesar US$300 juta, Indo-18 US$900 juta, dan Indo-38 US$1 miliar. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto menyatakan, keberhasilan kita melepas ‘Indo-Indo’ senilai US$2,2 miliar mencerminkan kepercayaan luar negeri terhadap perekonomian Indonesia.
Jelas ini berita yang sedikit menyesatkan. Asing berminat pada obligasi kita karena suku bunga yang tinggi dan mencekik. Indo-18 dan Indo-38 semula masing-masing dipatok dengan suku bunga 6,95% dan 7,74%. Kenapa akhirnya kita lepas dengan suku bunga 7,27% dan 8,154%? Karena, kita takluk pada tekanan si pembeli. Pada era Soeharto, tidak pernah utang pemerintah RI (G-to-G) dipatok dengan suku bunga demikian mencekik.
Bagaimana dengan SUN Rupiah?
Pada awal kepresidenan Yudhoyono, total utang Indonesia tercatat Rp1.282 triliun, terdiri atas utang rupiah Rp658 triliun, dan utang valuta asing Rp624 triliun. Pemerintah, secara teoritis, menyatakan tekadnya untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri. Bahkan sisa utang kepada IMF sebesar US$2 miliar pun akhirnya dilunaskan. Namun, di sisi lain, utang dalam negeri terus digenjot. Menurut catatan Chief Economist BNI Tony Prasetiantono, sampai akhir 2008 SUN akan tembus Rp939 triliun. Hal itu berarti dalam tempo empat tahun, pemerintahan Yudhoyono sudah berutang (dalam negeri) sebesar Rp281 triliun, atau sekitar US$31 miliar. Luar biasa!
Bayangkan, untuk menutup defisit angaran 2008 saja pemerintah harus mengeluarkan SUN senilai Rp117,7 triliun. Untuk menutup defisit RAPBN 2009, yang pasti akan jauh lebih membengkak karena untuk peningkatan anggaran pendidikan pemerintah mau tidak mau harus mencetak SUN lebih besar lagi, mungkin mendekati Rp125 triliun. Angka persisnya baru kelihatan pada semester ke-2 2009. Instrumen SUN yang tidak dikenal pada Orde Baru, sebenarnya sama bahayanya dengan utang luar negeri. Kenapa? Karena suku bunga yang tinggi–antara 10 dan 12,5%–dan jangka waktu pendek. Akibatnya, untuk beban bunga saja, APBN 2008 harus menyediakan bunga sekitar Rp100 triliun. Setiap tahun pemerintah harus buy-back SUN yang hampir jatuh tempo. Pemerintah tidak pernah melunasi secara tunai SUN yang jatuh tempo, tapi selalu dengan cara penukaran SUN yang jatuh tempo dengan seri baru yang dikeluarkan.
Masalahnya untuk menarik kembali SUN yang hampir jatuh tempo, pemerintah dipaksa menerbitkan SUN seri baru dengan nilai minimal 150% dari nilai SUN yang jatuh tempo. Selanjutnya, negara kita benar-benar dililit ‘gurita’ utang yang mengerikan! Pemerintah terus-menerus gali lubang tutup lubang. Bahkan untuk menutup satu lubang, pemerintah harus menggali lubang yang 1,5 kali lebih besar. Lalu, bagaimana generasi nanti membayar semua utang itu?
Enam tahun yang lalu, Sri Mulani Indrawati menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan itu kepada sebuah forum di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang juga dihadiri penulis. Kini, pejabat yang sama amat aktif mencetak SUN dengan inovasi-inovasi yang canggih! Pemerintahan Yudhoyono rupanya amat terpengaruh pada teori bahwa kita tidak usah repot-repot memikirkan pelunasan utang dalam negeri, sebab utang itu bisa terus di- rollover selamanya. Jelas, teori itu sangat menyesatkan. Suatu ketika SUN yang dikeluarkan pemerintah akan kehilangan daya tariknya, bahkan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak, sebab publik akan ragu apakah pemerintah mempunyai kemampuan untuk melunasinya. Indikatornya sudah ada, hasil penjualan ORI Seri 005 hanya mencapai 40% dari target!***
Oleh Tjipta Lesmana, kolumnis