opini

Membaca Anomali Sosial Kemiskinan
Oleh Edy Firmansyah

Jumat, 10 Oktober 2008
Masalah kemiskinan di negeri ini kian hari kian memprihatinkan. Tengok saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Juni 2007 angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Bahkan, dengan dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,6 persen, beberapa waktu yang lalu, yang berdampak pada melonjaknya harga seluruh komoditas, itu jelas menambah deretan panjang kemiskinan. Sebab, dengan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, transaksi antarkota, antarprovinsi, dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan bisa berhenti total.

Imbas dari semua ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Angka kemiskinan pun hampir bisa dipastikan meningkat tajam. Inilah kenyataan yang terjadi pada saat ini.

Kondisi sosial ekonomi semacam ini merupakan faktor utama terjadinya anomali sosial. Menurut Durkhaem, anomali sosial timbul akibat tidak imbangnya kondisi sosial ekonomi di masyarakat, yakni antara pendapatan dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi tidak seimbang.

Di tingkatan gunung es, anomali sosial mulai dapat kita saksikan. Misalnya, perampokan yang mulai marak. Perampokan itu adakalanya disertai kekerasan fisik. Tragedi pembagian zakat yang menewaskan setidaknya 21 orang di Pasuruan, Jawa Timur, adalah bagian dari dampak kemiskinan.

Masalahnya bisa menjadi makin rumit ketika kaum miskin itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama menjelang pemilihan gubernur (pilgub) putaran kedua oleh para pialang politik yang berwatak Machiaveli. Yakni, dengan memberikan penyaluran energi bagi kaum miskin untuk menghalalkan segala cara demi suksesnya perebutan kekuasaan, termasuk dengan menciptakan kekerasan, peperangan, dan anarkisme. Dengan demikian, hal itu cenderung melahirkan konflik politik yang makin besar.

Dalam kondisi masyarakat yang demikian tertekan, jangan heran jika hanya dengan kabar angin saja, masyarakat akan langsung tersulut untuk melakukan tindak kekerasan. Tanpa ba-bi-bu masyarakat akan membentuk kerumunan, kemudian melakukan kekerasan dan anarkisme sebagai bentuk eskapisme sosial sebagai wujud ketidakmampuan mendorong perubahan ekonomi-politik di pusat kekuasaan. Hal itu tentu saja membahayakan integritas bangsa.

Karena itu, permasalahan kemiskinan ini harus segera mendapatkan perhatian serius, terutama oleh pemerintah. Meski demikian, elemen masyarakat yang kompeten seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan partai politik juga harus dilibatkan guna menuntaskan masalah kemiskinan.

Mengakhiri kemiskinan tentu saja tidak melulu memberikan bantuan uang atau menyediakan lapangan pekerjaan semata. Yang terpenting saat ini, di masa krisis seperti sekarang ini adalah menciptakan kreativitas dan daya tahan ekonomi yang kukuh untuk terus bertahan hidup. Semangat semacam itulah yang semestinya dipupuk dalam benak masyarakat.

Karena itu, penting untuk memberikan pelatihan-pelatihan gratis mengenai bagaimana menggali potensi diri. Dengan mengetahui potensi itu, masyarakat bisa dibimbing untuk menghasilkan suatu yang kreatif dan menghasilkan uang.

Bakat itu menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Ronaldo mungkin diam-diam dimiliki seorang penganggur yang tinggal di Rusun Penjaringan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang mengais sampah di pinggiran sungai. Atau, salah seorang anak pengemis di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zubin Mehta. Dan, hal ini perlu juga melibatkan para psikolog dan para motivator ulung untuk melejitkan potensi kaum miskin.

Dengan begitu, upaya mengentaskan kemiskinan bisa dilakukan dengan menggali potensi diri untuk menghasilkan pekerjaan yang kreatif. Perniagaan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, seni dan sastra, olahraga, dan pelayanan sosial, misalnya, bisa dikelola “sesuai kemampuan” untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai jual.

Di samping itu, penting juga kiranya membangun mental progresif para elite politik, birokrat, dan pejabat untuk peduli pada nasib kaum miskin. Selain itu, perlu juga menahan diri untuk melakukan korupsi, penggusuran, perampasan tanah, kebohongan lewat kampanye politik, dan politik uang dalam upaya menempa diri menuju kepemimpinan sejati.

Pemimpin yang sejati tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Ia berkuasa tetapi tidak menguasai; kaya tetapi tidak memiliki; jujur tetapi rendah hati; berbicara melalui kerja; termasyhur tetapi berlaku biasa. Terakhir, ia terpanggil untuk memimpin karena hati nurani dan jeritan kebutuhan rakyatnya sendiri (Jacob Sumardjo, 2003). Dengan begitu, kemungkinan untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan makin terbuka lebar.

Peneliti pada Institute of Research Social, Politic and Democracy, Jakarta

Titik Temu Syarat Pengajuan Capres

Editorial

SELAMAT PAGI INDONESIA
15/10/2008 10:22

PARLEMEN masih hiruk-pikuk dengan perdebatan persyaratan minimal pengauan calon presiden dan wakilnya dalam pemilu mendatang. Ada kabar baik bahwa diperkirakan, syarat dukungan 20% kursi di DPR bakal menjadi titik temu yang mengakhiri polemik itu.

Sinyalemen ini muncul dari pandangan sejumlah ketua dan anggota fraksi di DPR pekan ini. Rapat lobi antara pemerintah dan DPR kembali dilanjutkan Rabu (15/10) hari ini guna membahas dua pasal krusial dalam RUU Pilpres.

Kedua pasal krusial itu, yakni soal syarat pengajuan capres/cawapres dan tidak bolehnya calon terpilih merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik (parpol). Ada yang perlu disimak. Ketua Fraksi FPPP Lukman Hakim Syaifuddin menawarkan solusi syarat pengajuan capres/cawapres harus oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih 20% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional di pemilu legislatif.

Dengan solusi ini, fraksi pendukung syarat 15% kursi atau 20% suara bisa menaikkan angkanya, sedangkan fraksi yang bertahan di syarat 25-30% kursi atau suara bisa turun pada angka yang lebih moderat, yaitu di 20% kursi atau suara.

Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Demokrat (FPD) sudah menunjukkan sinyal bersedia mencapai titik temu di angka 20% kursi.

Anggota FPG yang juga Ketua Pansus RUU Pilpres Ferry Mursyildan Baldan mengatakan, fraksi Golkar pada dasarnya setuju menurunkan angka persentase syarat pengajuan capres/cawapres demi mencapai titik temu antarfraksi.

Harus kita akui usul 20% kursi, adalah jalan tengah untuk mencapai titik temu. Tapi semua tergantung fraksi, dan jika titik temu ingin tercapai, semua fraksi harus mau bergerak dari posisinya.

Fraksi PDIP juga bersedia menurunkan syarat dukungan capres/cawapres tapi bermain pada angka 20-30% kursi atau suara. PDIP menginginkan fraksi-fraksi yang mendukung syarat 15% kursi atau 20% suara, menaikkan lagi persentase angkanya.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengakui, fraksinya pun membuka diri pada kemungkinan menyepakati angka jalan tengah untuk capai titik temu. Tapi Fraksi PKS masih tetap ingin syarat 15% kursi atau 20% suara sah nasional yang mestinya di- akomodasi mengingat ini adalah UU Pilpres yang lama (UU No 23/2003) yang belum sempat dilaksanakan.

Dengan melihat fakta-fakta itu, sangat mungkin syarat 20% menjadi jalan tengah yang bisa mengakomodasi semua parpol untuk melaju ke pemilihan presiden 2009.

Kita berharap DPR secepatnya menyelesaikan masalah ini, dengan kompromi dan konsensus yang baik. Agar pemilu dan pilpres 2009 dirasakan merespon aspirasi rakyat, sehingga golongan putih tidak membengkak dan tak mengancam legitimasi demokrasi kita.